Potret Kaum Marjinal Yang Terpinggirkan
Sumber: arumsekartaji.wordpress.com |
Penggusuran warga di kabupaten sragen
untuk pembangunan waduk Kedung Ombo mengawali kisahnya menjadi warga yang
terdzolimi di tahun 1985. Bernama lengkap Samin Cipto Wiyoto atau yang lebih
akrab disapa mbah Samin akhirnya pindah ke Surakarta. Ia beserta keluarganya
dipaksa harus meninggalkan lahan 2 hektarnya dengan ganti rugi yang amat tidak
sesuai dengan nilai tanah pada waktu itu. Saat ditemui, beliau sedang menghadiri
donor darah di taman segitiga, ia menganalogikan ganti rugi tanah 2 hektar saat
itu hanya seharga 2 bungkus rokok. Berdasarkan penelusuran di situs
Wikipedia, saat itu Mendagri yang dijabat oleh Soeparjo Rustam menyatakan ganti
rugi tanah adalah Rp3000,00/meter, akan tetapi warga dipaksa menerima ganti
rugi tanah hanya sebesar Rp250/meter. Berdasarkan cerita mbah Samin, warga
akhirnya bersedia menerima ganti rugi disebabkan karena bagi yang menolak akan
dituduh sebagai anggota Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang pada waktu itu jika dituduh menjadi anggota PKI menjadi hal
sangat menakutkan bagi warga sipil. Tahun 2001, warga yang tergusur menuntut
Gubernur Jawa Tengah untuk membuka kembali kasus Kedung Ombo dan melakukan
negosiasi ulang untuk ganti rugi tanah. Akan tetapi, Pemda Provinsi dan Kabupaten
bersikeras bahwa masalah ganti rugi tanah sudah selesai. Inilah kisah awal
seorang mbah Samin menjadi masyarakat yang terampas hak nya oleh pemerintahnya
sendiri.
Sumber: berita19.blogspot.com |
Penggusuran di Sragen akhirnya membawa
Mbah Samin dan keluarganya pindah ke Surakarta atau tepatnya di kelurahan
Mojosongo. Perpindahan ini menjadikan mbah samin akhirnya berpindah profesi
yang awalnya adalah petani menjadi tukang becak, karena ditempat tinggal
barunya mbah Samin tidak punya cukup tanah untuk pertanian.
Pengalaman hidupnya yang pahit karena
penggusuran membuat mbah Samin tersadar untuk bergerak memperjuangkan haknya.
Tahun 2002, mbah Samin bergabung dengan organisasi Paguyuban Pengemudi Becak
Solo (PPBS) yang dibentuk tahun 1996.
Profesi barunya sebagai pengemudi becak
ternyata tetap menjadikannya masyarakat yang terpinggirkan dari pengambilan
kebijakan yang menyangkut tentang tukang becak seperti dirinya dan puluhan ribu
tukang becak lainnya. Pada bulan Maret tahun 2002, Dinas Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (DLLAJ) mengadakan sebuah kegiatan yaitu operasi penertiban
dengan dalih untuk memperbaiki keselamatan, ketertiban, dan keteraturan lalu
lintas. Kegiatan ini adalah implementasi dari perda No.9 tahun 1991. Mbah Samin
beserta teman-temannya dari PPBS sangat menentang keras upaya ini karena
kegiatan ini akan menutup sumber ekonomi para pengemudi becak. Akhirnya setelah
melalui perjuangan panjang dengan berdemo dan berdialog dengan para penentu
kebijakan, mbah samin dan kawan-kawan berhasil menghentikan kegiatan operasi
penertiban ini. Namun menurut mbah Samin, upaya untuk meminggirkan becak tidak
putus sampai disini. Tahun 2003, keluar keputusan untuk menutup Jalan Jenderal
Sudirman bagi pengemudi becak. Keputusan tersebut keluar tanpa meminta
pertimbangan pihak yang terkena dampak langsung dari keputusan tersebut yaitu
para pengemudi becak. Sekali lagi, Mbah Samin dan kawan-kawan berjuang
melakukan upaya untuk menggagalkan keputusan yang dinilai tidak memihak nasib
pengemudi becak tersebut. Perjuangan mbah Samin dan kawan-kawan membuahkan
hasil yaitu diperbolehkannya kembali pengemudi becak mengakses jalan Jenderal
Sudirman, tetapi tidak boleh berhenti dan menunggu penumpang di sepanjang jalan
tersebut.
Sumber: kfk.kompas.com |
Saat ditanya tentang perjuangan mbah
Samin yang paling dikenang adalah demo menolak
bajaj. Pada awal April 2003 pemerintah daerah Solo mengeluarkan ijin
beroperasinya bajaj. Kebijakan tersebut dinilai mbah Samin akan meminggirkan
pengemudi becak dan memperkecil ruang pengemudi becak untuk beroperasi. Padahal
ruang beroperasi becak saat itu sudah kecil. Mbah Samin bercerita bahwa saat
itu pengemudi becak membentuk suatu aliansi yaitu Front Becak Anti Bajaj. Mbah
Samin dan kawan-kawan yang saat itu tergabung dalam aliansi FBAB mengadakan
demonstrasi untuk menolak beroperasinya bajaj. Setelah beberapa kali demo
akhirnya perjuangan mbah Samin dan kawan-kawan berhasil menekan DPRD untuk
menandatangani pernyataan mendukung aspirasi pengemudi becak untuk menolak
beroperasinya bajaj di kota Solo. Setelah mendapat dukungan dari DPRD, mbah Samin
dan kawan-kawan menggelar aksi ke kantor walikota untuk menekan walikota
membatalkan pemberian ijin beroperasinya bajaj. Akhirnya protes tersebut
berhasil, walikota mencabut kembali kebijakan pemberian ijin operasi bajaj.
Hingga sekarang, mbah Samin yang telah
berusia 61 tahun masih tetap meneruskan perjuangannya. Ketika ditanya tentang
harapanya untuk komunitas becak kedepan, mbah samin yang sekarang jadi Ketua
Paguyupan Penegemudi Becak Pasar Jongke Surakarta ini menjawab bahwa
keinginannya sebagai pengemudi becak adalah dibuatnya perda tentang becak yang
sesuai dengan aspirasi pengemudi becak, mengingat perda PKL dan Perda Parkir
sudah terlebih dahulu ditetapkan. Dengan perda tersebut akan jelas hak dan
kewajiban pengemudi becak, dimana daerah yang boleh diakses dan tidak boleh,
sehingga dalam pengemudi becak merasa dilindungi oleh perda tersebut dalam
mengoperasikan becak.
Comments
Post a Comment