Pembangunan Berbasis Kawasan ( Studi kasus : Pedagang Kaki Lima)
Pembangunan
Berbasis Kawasan
(
Studi kasus : Pedagang Kaki Lima)
Pendahuluan
Definisi pembangunan masih menjadi
perdebatan di banyak kalangan. Dalam hal ini PBB lebih menekankan arti
pembangunan terhadap manusia. Menurut dokumen PBB pembangunan manusia diukur
oleh harapan hidup, angka melek huruf, akses terhadap pendidikan, angka
pendapatan per kapita, kebebasan memilih (demokrasi). Dalam arti yang lebih
luas, gagasan pembangunan manusia mencakup seluruh aspek tentang kesejahteraan
individu, dari status kesehatan mereka, kondisi ekonomi sampai kebebasan
berpolitik. Menurut Human Development Report 1996 yang diterbitkan oleh UNDP,
pembangunan manusia adalah akhir atau sebagai alat untuk pertumbuhan ekonomi.
Memang benar bahwa pertumbuhan ekonomi
dengan meningkatkan PDRB juga akan meningkatkan potensinya untuk mengurangi
kemiskinan dan menyelesaikan masalah sosial lainnya. Tapi sejarah menawarkan sejumlah
contoh dimana pertumbuhan ekonomi tidak diikuti oleh kemajuan serupa dalam
pembangunan manusia. Sebaliknya pertumbuhan dicapai, akan tetapi angka
pengangguran tinggi, demokrasi lemah, kehilangan identitas budaya, atau
konsumsi yang berlebihan terhadap sumber daya alam yang dibutuhkan oleh
generasi yang akan datang. Oleh karena itu model pembangunan yang baru
menambahkan tujuan ekologi dalam model pembangunan tradisional yang mencakup
tujuan ekonomi dan sosial, bersama membentuk model pembangunan yang baru yaitu
pembangunan berkelanjutan (Baker, 2006). Pembangunan berkelanjutan yaitu model
perubahan sosial yang disamping memiliki tujuan perkembangan ekonomi dan sosial
juga memiliki tujuan menjaga keberlanjutan ekologis.
Dalam mendukung pembangunan, sebuaah
perencanaan pembangunan dapat dilakukan melalui pendekatan wilayah. Dalam hal
ini, unsur spasial merupakan dasar dan pegangan perencana wilayah dalam membuat
suatu rencana sektoral maupun wilayah, sekaligus merencanakan lokasi suatu
kegiatan pembangunan tertentu. Dalam menyusun perencanaan pembangunan berbasis
pengambangan wilayah, penting untuk melihat keterpaduan sektoral, spasial, dan
antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Sebagai upaya mewujudkan
pembangunan berimbang, maka pembangunan wilayah perlu senantiasa diarahkan pada
tujuan pengembangan wilayah, antara lain mencapai pertumbuhan, pemerataan, dan
keberlanjutan.
Topik yang ingin diambil dalam tulisan
ini adalah tentang penataan kawasan PKL di Kota Surakarta. Salah satu masalah yang
cukup menarik adalah munculnya kebijakan pemerintah kota untuk menertibkan
Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Surakarta. Keberadaannya sebagai sektor
informal merupakan bagian yang sebenarnya memiliki ketahanan yang cukup handal
dibandingkan sektor – sektor usaha lainnya. Terbukti di saat unit-unit usaha
lainnya tersingkir akibat badai krisi ekonomi, justru sektor ini tumbuh dan
berkembang hampir di setiap kota besar termasuk Kota Surakarta. Meskipun
begitu, keberadaan PKL mempunyai tingkat kerentanan yang cukup tinggi apabila
tidak mendapatkan penanganan yang serius dari pemerintah.
Penataan PKL oleh pemerintah kota
Surakarta selama ini belum optimal, pihak-pihak yang berkepentingan dengan
penataan PKL sering berjalan dengan tujuannya sendiri-sendiri dan sering tidak
terjadi sinergi. Selain itu, penataan PKL yang sudah berjalan selama ini
cenderung berorientasi pada “penertiban” semata-mata untuk kepentingan penguasa
dan kurang memperhatikan kepentingan komunitas PKL sehingga hasilnya tidak
berlanjut dan sering terjadi konflik.
Menurut Wibowo (2005), perlu adanya
strategi dan rumusan kebijakan yang tepat oleh pemerintah kota Surakarta ,
yaitu kebijakan PKL berbasis kawasan. Tujuan kajian kebijakan ini adalah untuk
memberikan kepastian hukum atas keberadaan PKL di Kota Surakarta, Penyesuaian
terhadap RUTRK, dan menyeimbangkan kebutuhan kota dengan keberadaan PKL. Strategi
dan rumusan kebijakan yang tepat menurut Wibowo (2005) yang pertama adalah
kebijakan dari eksekutif dan legislatif yang bersifat regulasi dan bukan
penertiban. Saat ini di kota Surakarta telah ada peraturan daerah yang mengatur
tentang Pedagang Kaki Lima yaitu Perda No
3 tahun 2008 tentang pengelolaan Pedagang Kaki Lima, namun perda ini
dirasa belum cukup mengakomodasi kepentingan PKL karena sebagian besar isi dari
perda adalah pelarangan berjualan di tempat-tempat tertentu, bukan lagi
penataan dan perlindungan terhadap PKL. Regulasi terhadap PKL harusnya
dipriorotaskan pada usaha untuk mengatur kembali PKL secara bersama-sama di
masing-masing komunitas. Strategi selanjutnya adalah membangun kawasan PKL,
dalam satu komunitas tertentu, wilayah tertentu. Dalam setiap kawasan diberikan
fasilitas penunjang seperti, air bersih, listrik, sanitasi, dan lain-lain. Di
Kota Surakarta, sudah disediakan kantung-kantung PKKL. Namun, tidak semuanya
strategis dan berpihak terhadap PKL. Contoh yang bagus adalah shelterisasi PKL
di belakang stadion manahan. PKL masih dibolehkan berjualan di sekitar stadion,
dan ditata dengan cara diberikan shelter, sehingga tempat berjualan PKL menjadi
bersih dan baik dilihat secara estetikanya. Akan tetapi ada beberapa kantung
PKL yang justru mematikan PKL, contohnya adalah pasarisasi PKL belakang kampus
(Pasar panggungrejo) dan pasarisasi PKL Taman Banjarsari dan Jalan Veteran (
Pasar Notoharjo). Beberapa pedagang di pasar tersebut justru tidak berjualan
lagi karena omzet penjualan turun drastis. Hal ini disebabkan banyak hal,
selain faktor tempat yang kurang strategis, dan kurangnya kepedulian birokrasi
dalam hal pemberdayaan PKL yang direlokasi. Selanjutnya adalah kanalisasi
terhadap PKL yang ada di jalan-jalan utama, misalnya di jalan Slamet Riyadi,
baik PKL siang maupun PKL malam. Pendekatan ini merupakan upaya pengelompokan
PKL dalam satu sub ruas jalan utama disepanjang Jalan Slamet Riyadi, dengan
pengaturan melalui pembatasan radius tertentu. Terakhir adalah rumusan
kebijakan yang memberikan pengakuan atas keberadaan dan potensi yang bisa
dikembangkan terhadap PKL dalam pengembangan ekonomi. Hal ini yang kurang
disentuh oleh pemerintah kota. Seakan PKL dibiarkan sendiri dalam memulihkan
kondisi ekonominya pasca relokasi. Seharusnya ini juga menjadi tanggungjawab
pemerintah kota untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Persoalan kuncinya dalam pembangunan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah seberapa jauh pemerintah
ikut bertanggungjawab dari awal proses, sampai akhir proses pembangunan dan
masyarakat mendapatkan dampak positif dari pembangunan itu. Untuk itu perlu
kearifan dan pemahaman atas peran masing-masing dalam upaya membangun kota
secara bersama-sama.
Sumber :
Wibowo, Muladi. 2005. PKL Berbasis
Kawasan (Sebuah Kajian Kebijaksanaan Pembangunan PKL di Kota Surakarta). Gema,
XVIII, 33
Baker, Susan. 2006. Sustainable
Development. Routledge. New York
Comments
Post a Comment